Rabu, 21 April 2010

Sang Siti Jenar


Ilmu selalu membukakan cahaya. Tapi, di setiap ujung langkah, kegelapan mencegatnya. Ternyata, itulah yang memungkinkan perjuangan menjelajahi arasyi ilmu “berjanji” untuk mengantarkan kita ke keabadian. Sebut: ke Tuhan.
Jika seseorang menggenggam keyakinan ilmu tanpa menyisakan “uang tak terduga”, sesungguhnya ia sedang melamar “kematian”. Kata kematian sengaja kita taruh diantara tanda petik karena kosmologi yang kita pahami—seperti Syekh Siti Jenar memandangnya—ternyata terbalik.

Wali “sempalan” itu memandang dunia dan kehidupan absrud adanya. Kejelasannya sangat tidak jelas dan ketidakjelasannya sangat jelas. Mungkin ada kata tertoreh yang lebih lugas: “Saksikanlah, kematian bertebaran dalam kehidupan!”
Kematian berlapis-lapis dan berdimensi. Berbagai kematian hampir tak diketahui oleh mereka yang menyangka sedang tinggal dalam kehidupan. Kematian memang tak terlihat. Ini membuat orang bersorak-sorai di lantai pesta kematian yakni kehidupan. Orang mencemaskan kematian yakni kehidupan.

Orang mencemaskan kematian. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan yang memperanakkan penindasan dan perang.
Kematian bertebaran dalam kehidupan. Kematian riuh rendah. Oleh karena itu, di segala zaman, amat sedikit orang yang bersedia menempuh jalan sunyi. Amat sedikit orang bertanya. Sebab, ilmu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kebudayaan menjawab pertanyaan dengan perombakan. Pembangunan menjawab pertanyaan dengan peruntuhan. Sejarah menjawab pertanyaan dengan perubahan. Dan politik menjawab pertanyaan dengan senapan.

Siti Jenar memilih jalan sunyi itu. Betapa terkutuk ia, tetapi betapa agung sakit yang dikunyahnya. Bukan Siti Jenar, tapi “Siti Jenar”. Bukan figurnya, tapi substansi dan posisi simbolisnya. Siti Jenar sudah terpenjara: kumal, kumuh, dan barangkali terkutuk-oleh “syariat” sejarah. Oleh formalisme dan “materialisme”. Tapi “Siti Jenar” adalah salah satu idiom yang menggairahkan untuk menyebut bagian—dari dunia dan kehidupan—yang mempertanyakan. Menawar. Menggugat.

Tatkala mengantarkan “kematian”-nya, Sunan Bonang menurut salah satu versi legenda tentangnya berkata, “Engkau kafir di mata manusia, tapi muslim di pangkuan-Nya.”
Alangkah berbahaya. Ini revolusi filsafat, juga teologi. Itulah pintu untuk menjumpai kehidupan sejati dibalik kematian yang kita hidup-hidupkan. Dan pintu itu harus ditutup rapat-rapat: tidak saja oleh ideologi pembangunan yang memompa-mompa kesementaraan yang berujung kebuntuan dan serta batu bata emas permata yang berujung kemusnahan. Pintu itu bahkan di gembok erat-erat oleh kekuasaan syariat di pangung pemelukan agama. Tampaknya, Sunan Bonang mengucapkan kalimat “subversif” itu dalam sidang tertutup yang dilarang diperdengarkan ke telinga umat.

Maka, Siti Jenar harus disembunyikan. Ia ancaman terhadap kebakuan, kebekuan dan kemapanan. Ia ancaman bagi tradisi, konvensi, pakem, ketertaatan yang selesai: yakni segala bangunan, sistem, keberlakuan nilai, yang diresmikan untuk tak boleh diubah, untuk menjadi museum.

Dalam kebudayaan, adanya kehidupan ditandai oleh terus-menerus berlangsungnya transformasi kreatif. Atau paradigma dalam penjelajahan ilmu, inovasi dalam kesenian, ijtihad dalam agama. Itu semula jalan sunyi. Dunia kekuasaan mencurigainya, formalisme agama menyempalkannya, kebudayaan mengangapnya gila, dan kebanyakan manusia tak menyapanya.

Wajah “Siti Jenar” membayang di keremangan dunia puisi, yang terduduk sepi di pojok pasar. Terselip dibalik lembaran-lembaran ilmu yang berhasil memotret realitas tetapi gagal merekam geraknya. Kalau ditanyakan kepadanya-”Dimana letakmu dalam tata nilai budaya?, ia menjawab-”Aku berumah di geraknya. Aku berjalan melintasi petak demi petak kebekuannya. Aku tidak percaya kepadanya karena dia palsu: kalau dipertahankan ia mati, kalau di ubah ia menjelma kelenyapan demi kelenyapan”.
Siti Jenar sudah dipatungkan dalam format nilai budaya sejarah: ia mati, dimatikan, dan menjadi kematian. Tapi “Siti Jenar” sudah hidup, mengatasi budaya, dan bergabung ke keabadian.

Ketika dipanggil menghadap sidang para wali, ia menjawab, “Siti Jenar tak ada. Hanya Tuhan yang ada.”
Siti Jenar bukan Tuhan. Sama sekali bukan Tuhan, Apa yang ia lakukan “hanyalah” peniadaan diri. Sebab, memang hanya itulah satu-satunya jalan bagi manusia. Hanya Tuhan yang sungguh-sungguh ada. Manusia hanya seakan-akan ada, hanya diadakan, diselenggarakan. Sejatinya tak ada. Maka, jalan agar tak palsu, agar sejati, ialah meniada, bergabung kepada satu-satunya yang ada. Itulah tauhid.
Ini juga bukan soal tasawuf, mistik, dan kebatinan. “Siti Jenar” ditemukan oleh orang-orang tua yang mulai melihat bahwa segala sesuatu yang ia ada-adakan selama hidupnya dengan keringat dan tumpukan dosa ternyata sangat potensial untuk tiada. “Siti Jenar” ditemukan oleh para penguasa yang di ujung jatah keberkuasaannya ia memperoleh lebih banyak ketidakamanan.
“Siti Jenar” menemani orang yang dikejar-kejar karena mengugat dan menawarkan kehidupan kepada kematian yang dilestarikan. “Siti Jenar” terkapar bersama sedikit orang penolak kematian yang berwujud otoritarianisme politik, ketakberbagian ekonomi dan kejumudan kultur. “Siti Jenar” bernyanyi perih dalam tidur orang-orang yang meletakkan fikih sejajar dengan firman dan identik dengan Tuhan. “Siti Jenar” tercampak dari arena kebudayaan yang hanya sanggup menerima verbalitas bahasa, yang mengahafalkan hidup adalah KTP, negara, norma, undang-undang, dan juklak-juknis. Terlempar dari kebudayaan yang bersembahyang demi prevensi kepegawaian teologis dan tidak dalam dinamika ilmu tarekat; yang berpuasa untuk lapar, berzakat untuk kredit status, berhaji untuk keningratan. “Siti Jenar” diusir oleh formalisme, “syariat” dan fanatisme.

Kalimat “Siti Jenar tak ada, yang ada hanya Tuhan” tidak sedikitpun mengindikasikan bahwa ia “menuhankan diri”. Ia bahkan menyadari hakekat ketiadaannya. Firaun tidak pernah menyatakan “Akulah Tuhan!”. Yang ia lakukan-sehingga bermakna menuhankan diri ialah menomorsatukan yang selain Tuhan: ambisi kekuasaan, maniak harta benda, mengumbar nafsu, merancang segala sesuatu, dan mengeksploatasikan apa saja yang bisa dijangkau untuk kepentingan karier dan masa depan pribadi.
Itulah obsesi populer kita sehari-hari. Itulah jalanan ramai, pasar riuh rendah kita semua.

Emha Ainun Nadjib

Kamis, 18 Maret 2010

Memaknai hakikat Shalat dan Syariat

Kita sering mendengar kata syariat, terlebih lagi ketika kita membahas tentang peribadatan. Syariat berhubungan dengan tata cara kita beribadah kepada Tuhan. Syariat disusun oleh para ahli fiqih pada abad ke-12H untuk mengatur tata cara peribadatan kepada Tuhan. Selain berisi tentang tata cara peribadatan, syariat juga berhubungan tentang hubungan ukuwah sesama pemeluk agama.

Dewasa ini kita sering meneriakkan bahwa syariat harus dijalankan sebaik dan sesempurna mungkin, bahkan tidak jarang kita memaksakannya kepada orang lain yang kita anggap masih salah menjalankan. Tanpa kita sadari, dengan melakukan ini kita sudah terjebak dalam sebuah peribadatan semu. Kenapa dikatan semu? karena kembali lagi pada intinya, bahwa syariat itu adalah semata-mata sebuah tata cara, sedangkan bagaimana individu menjalankannya itu tergantung individu itu sendiri. Syariat ibarat warna dan bentuk baju, warnanya tergantung selera dan budaya orang yg memakai. Bentuknya tergantung kondisi geografi dan iklim dari tumbuhnya budaya dan agama. Syariat tidak boleh dipaksakan kepada setiap individu. Contoh konkret penjalanan syariat yang berbeda-beda adalah gerakan pada saat kita menjalankan shalat ada yang bersedekap didepan dada, ada yang bersedekap di depan pusar, bahkan ada yang tangannya tergantung bebas.

Dikatakan dalam Q.S> al-Ma-un (107) :4-7 ditafsirkan bahwa : Pelaksanaan salat (sebagai bentuk pengamalan syariat) bukanlah sebuah tujuan dalam hidup ini. Salat merupakan etika dalam kehidupan beragama. Makna dan tujuan di balik pelaksanaan salat itu yg tidak boleh diabaikan. Justru salat merupakan hal yg mencelakakan manusia bila hanya dikerjakan sebagai pemenuhan formalitas, tak memberikan manfaat bagi orang-orang yg menderita.

Yang diperlukan saat ini bagaimana kita memaknai hakikat syariat bukan hanya sebagai tata cara perilakunya tetapi nilai esensi yang tergantung didalamnya. Syekh Siti Jenar dalam Pupuh Syekh Siti Jenar Pupuh III :38 dan 41 mengatakan bahwa :

Sadat salat pasa tan apti,
Seje jakat kaji mring Mekah,
Iku wus palson kabeh,
Nora kena ginugu,
Sadayeku durjaning bumi,
Ngapusi liyan titah,
Sinung swarga besok, Wong bodho anut aliya,
Tur nyatane pada bae durung uning,
Seje ingsun Lemahbang.

Dari Pupuh diatas Syekh mengatakan bahwa rukun Islam (syahadat, salat, zakat, puasa dan haji) sudah menjadi palsu. Kenapa dikatakan palsu? karena nilai esensi dari rukun Islam itu sudah hilang, yang ada saat ini hanyalah syariat yang dijalankan sebagai bentuk formalitas. Syariat dijalankan hanya semata-mata sebagai sebuah pengguguran kewajiban, sebagai pengharapan akan adanya surga dan menghindari neraka. Padahal dalam Al Qur'an dijelaskan Inna sholatatanha anilfaksa'i wa munkar. Sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Tidak ada yang namanya sholat itu membuat kita masuk surga. Surga baru bisa kita dapat ketika sikap dan perbuatan kita sudah jauh dari perbuatan keji dan munkar. bandingkan dengan sikap dari kebanyakan orang saat ini, orang-orang berbondong-bondong pergi ke masjid, mushola, menyumbang masjid namun mereka juga melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), hak orang lain direbut. ini tentu bukan pengamalan sholat sebagai bentuk penghindaran perbuatan keji dan munkar dan bentuk pengamalan syariat yang seperti ini yang dianggap oleh Syekh Siti Jenar dalam Pupuh diatas sebagai sebuah kepalsuan.

Selasa, 09 Maret 2010

Membela Tuhan atau Membela Ego ???

Sering kita ini merasakan bahwa yang kita lakukan itu sebenarnya keinginan Ego, tetapi kita dengan mudah berkilah bahwa itu panggilan Tuhan. Sering kita meneriakkan nama Tuhan, kita katakan membela Tuhan, namun sebenarnya hanya karena desakan Ego kita. Apakah ini lahir dari nurani untuk mematuhi Tuhan, atau untuk membela kepentingannya. Betapa mudah orang memanggil nama Tuhan tetapi sikapnya berlawanan dengan kelembutan Tuhan, juga banyak orang yang “tidak mengenal Tuhan” tetapi dengan gesit menyebut nama-Nya. Nama Tuhan hanya berhenti dibibir. Cuma dibibir, tak lebih. Uang rakyat ditelan, penderitaan dibiarkan.

Agama datang mempunyai misi untuk keselamatan dunia, “rahmatan lilalamin”. Tentunya saja termasuk keselamatan manusianya. Tetapi, kalau boleh kita bicara jujur, kita tahu bahwa banyak orang yang merasa terancam keselamatannya oleh sekelompok orang yang merasa punya otoritas dalam memaksakan agama. Disisi lain banyak manusia tidak mampu memegang amanat Tuhan, kepetingan kelompok lebih dominan daripada fungsi kekhalifahannya, sehinggga manusia masih menganggap mereka yang berada diluar kelompoknya bukan serealitas dirinya. Atau mungkin juga ada anggapan dari mereka bahwa orang tidak boleh dipaksakan masuk ke suatu agama, tetapi kalau sudak masuk harus mau dipaksa-paksa. Ini sama saja artinya bersaing dengan Tuhan.

Marilah kita sama-sama mentelaah serta meluruskan sehingga kita paham dan agar dorongan Ego tidak disamakan dengan seruan Tuhan. Orang yang sudah berperilaku baik tidak boleh dikatakan akan masuk neraka kalau tidak menjalankan syariat ABC. Pernyataan orang akan masuk neraka atau surga, jelas bukan kenyataan. Itu semata-mata hanya hipotesis, sesuatu yang lahir dari pikiran murni. Agama itu memang perlu diajarkan dengan benar, sehingga lahir manusia-manusia yang berperilaku benar. Agama diturunkan sebagai wahana agar manusia bisa berada di jalan yang benar. Tak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan agama. Bahkan para Nabi pun hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, bukan untuk menguasai. Tidak ada paksaan dalam beragama dan maupun sesuatu yang ada didalamnya, baik itu syariat ataupun fatwa-fatwa.

Dewasa ini agama sudah dikaitkan dengan politik, sehingga kehidupan beragama tak lagi dapat menjadi jalan hidup. Orang lebih mementingkan perbedaan lahir daripada hidup damai bersama. Orang lebih mengutamakan kesatuan daripada persatuan. Orang lebih suka terhadap keseragaman daripada keberagaman. Pihak yang menang akan mengatakan aturan yang dipegangnya itu benar. Pihak yang kalah dinyatakan salah. Pihak yang tidak sejalan dianggap kafir. Sehingga pada akhirnya agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebuah dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Cara beragama yang demikian adalah cara beragama yang berasal dari Ego. Ego-lah yang memaksa orang untuk menjalankan kehidupan beragama dengan syariat tertentu. Dengan memaksakan orang lain sepaham dan sepihak dengan kita, berarti kita tidak bisa menerima cara yang ditempuh oleh orang lain. Pada akhirnya dengan pemaksaan tersebut kehidupan beragama hanya sebagai sebuah formalitas. Pelaksanaan ibadah dilakukan hanya semata-mata karena sebuah konsekuensi ingin masuk surga dan ketakutan akan neraka, bukannya ibadah karena bentuk rasa ikhlas tanpa pamrih dan wujud penghambaan diri hamba kepada Sang Khalik. Kalau ini terjadi, bukan ibadah yang subur namanya, melainkan upacara.

Cara dalam mengekspresikan agama dan beragama bukan kriminal atau sebuah tindakan pidana. Sepanjang ia hanya sebuah bentuk ekspresi dan aktualisasi keagamaaan, tidak perlu dikaitkan dengan kekuasaan politik. Sepanjang ekspresi dan aktualisasi tersebut tidak menimbulkan tindakan asosial dan asusila, tidak perlu terjadi pelindasan terhadapnya. Melindas orang yang tidak sepaham dengan kita adalah tindakan Ego, bukan seruan Tuhan.

Tuhan mencintai orang yang berbuat baik kepada sesama, menghormati dan tolong-menolong dalam dalam kebajikan. Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan bersama adalah wujud ketakwaan. Orang-orang yang mengaku beriman seharusnya terpanggil untuk membuat aturan dan undang-undang yang benar dan adil, bukannya menyengsarakan pihak lain, bukannya keluar dari dorongan Ego semata yang mementingkan dirinya daripada umum. Kalau toh pandangannya itu kelihatan benar, tetapi lebih dimaksudkan untuk kepentingan golongannya. Merasa paling benar dan orang lain salah. Lebih suka hidup homogen daripada hidup dalam pluralitas. Lebih senang menggunakan ayat-ayat suci sebagai “pembenaran” daripada mencoba mencari solusi terhadap kenyataan yang ada.

Ibadah adalah mengikatkan diri, menundukkan diri kepada Tuhan. Dalam makna ini orang yang beribadah harus jauh dari pamrih dan caranya pun tak dapat diprogramkan dan tidak dapat diatur oleh orang lain. Dari sini kita akan dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan kalimat “iyyaka na’budu”, hanya kepada-Mu kami beribadah, menghambakan diri. Bagaimana dapat disebut ibadah kepada Tuhan bila masih ikut-ikutan? Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika karena ketakutan? Apalagi dipaksakan!

(sumber : Achmad Chodjim - Syekh Siti Jenar, makna "kematian")