Selasa, 09 Maret 2010

Membela Tuhan atau Membela Ego ???

Sering kita ini merasakan bahwa yang kita lakukan itu sebenarnya keinginan Ego, tetapi kita dengan mudah berkilah bahwa itu panggilan Tuhan. Sering kita meneriakkan nama Tuhan, kita katakan membela Tuhan, namun sebenarnya hanya karena desakan Ego kita. Apakah ini lahir dari nurani untuk mematuhi Tuhan, atau untuk membela kepentingannya. Betapa mudah orang memanggil nama Tuhan tetapi sikapnya berlawanan dengan kelembutan Tuhan, juga banyak orang yang “tidak mengenal Tuhan” tetapi dengan gesit menyebut nama-Nya. Nama Tuhan hanya berhenti dibibir. Cuma dibibir, tak lebih. Uang rakyat ditelan, penderitaan dibiarkan.

Agama datang mempunyai misi untuk keselamatan dunia, “rahmatan lilalamin”. Tentunya saja termasuk keselamatan manusianya. Tetapi, kalau boleh kita bicara jujur, kita tahu bahwa banyak orang yang merasa terancam keselamatannya oleh sekelompok orang yang merasa punya otoritas dalam memaksakan agama. Disisi lain banyak manusia tidak mampu memegang amanat Tuhan, kepetingan kelompok lebih dominan daripada fungsi kekhalifahannya, sehinggga manusia masih menganggap mereka yang berada diluar kelompoknya bukan serealitas dirinya. Atau mungkin juga ada anggapan dari mereka bahwa orang tidak boleh dipaksakan masuk ke suatu agama, tetapi kalau sudak masuk harus mau dipaksa-paksa. Ini sama saja artinya bersaing dengan Tuhan.

Marilah kita sama-sama mentelaah serta meluruskan sehingga kita paham dan agar dorongan Ego tidak disamakan dengan seruan Tuhan. Orang yang sudah berperilaku baik tidak boleh dikatakan akan masuk neraka kalau tidak menjalankan syariat ABC. Pernyataan orang akan masuk neraka atau surga, jelas bukan kenyataan. Itu semata-mata hanya hipotesis, sesuatu yang lahir dari pikiran murni. Agama itu memang perlu diajarkan dengan benar, sehingga lahir manusia-manusia yang berperilaku benar. Agama diturunkan sebagai wahana agar manusia bisa berada di jalan yang benar. Tak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan agama. Bahkan para Nabi pun hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, bukan untuk menguasai. Tidak ada paksaan dalam beragama dan maupun sesuatu yang ada didalamnya, baik itu syariat ataupun fatwa-fatwa.

Dewasa ini agama sudah dikaitkan dengan politik, sehingga kehidupan beragama tak lagi dapat menjadi jalan hidup. Orang lebih mementingkan perbedaan lahir daripada hidup damai bersama. Orang lebih mengutamakan kesatuan daripada persatuan. Orang lebih suka terhadap keseragaman daripada keberagaman. Pihak yang menang akan mengatakan aturan yang dipegangnya itu benar. Pihak yang kalah dinyatakan salah. Pihak yang tidak sejalan dianggap kafir. Sehingga pada akhirnya agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebuah dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Cara beragama yang demikian adalah cara beragama yang berasal dari Ego. Ego-lah yang memaksa orang untuk menjalankan kehidupan beragama dengan syariat tertentu. Dengan memaksakan orang lain sepaham dan sepihak dengan kita, berarti kita tidak bisa menerima cara yang ditempuh oleh orang lain. Pada akhirnya dengan pemaksaan tersebut kehidupan beragama hanya sebagai sebuah formalitas. Pelaksanaan ibadah dilakukan hanya semata-mata karena sebuah konsekuensi ingin masuk surga dan ketakutan akan neraka, bukannya ibadah karena bentuk rasa ikhlas tanpa pamrih dan wujud penghambaan diri hamba kepada Sang Khalik. Kalau ini terjadi, bukan ibadah yang subur namanya, melainkan upacara.

Cara dalam mengekspresikan agama dan beragama bukan kriminal atau sebuah tindakan pidana. Sepanjang ia hanya sebuah bentuk ekspresi dan aktualisasi keagamaaan, tidak perlu dikaitkan dengan kekuasaan politik. Sepanjang ekspresi dan aktualisasi tersebut tidak menimbulkan tindakan asosial dan asusila, tidak perlu terjadi pelindasan terhadapnya. Melindas orang yang tidak sepaham dengan kita adalah tindakan Ego, bukan seruan Tuhan.

Tuhan mencintai orang yang berbuat baik kepada sesama, menghormati dan tolong-menolong dalam dalam kebajikan. Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan bersama adalah wujud ketakwaan. Orang-orang yang mengaku beriman seharusnya terpanggil untuk membuat aturan dan undang-undang yang benar dan adil, bukannya menyengsarakan pihak lain, bukannya keluar dari dorongan Ego semata yang mementingkan dirinya daripada umum. Kalau toh pandangannya itu kelihatan benar, tetapi lebih dimaksudkan untuk kepentingan golongannya. Merasa paling benar dan orang lain salah. Lebih suka hidup homogen daripada hidup dalam pluralitas. Lebih senang menggunakan ayat-ayat suci sebagai “pembenaran” daripada mencoba mencari solusi terhadap kenyataan yang ada.

Ibadah adalah mengikatkan diri, menundukkan diri kepada Tuhan. Dalam makna ini orang yang beribadah harus jauh dari pamrih dan caranya pun tak dapat diprogramkan dan tidak dapat diatur oleh orang lain. Dari sini kita akan dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan kalimat “iyyaka na’budu”, hanya kepada-Mu kami beribadah, menghambakan diri. Bagaimana dapat disebut ibadah kepada Tuhan bila masih ikut-ikutan? Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika karena ketakutan? Apalagi dipaksakan!

(sumber : Achmad Chodjim - Syekh Siti Jenar, makna "kematian")